Minggu, 22 Desember 2013

Teknik Disensitisasi Sistematis



BAB I
PENDAHULUAN


A.  LATAR BELAKANG
Menurut sejarah teknik desensitisasi sitematis, Nietzel dan Berstein (1987) mengemukakan tentang latar belakang teknik ini antara lain tokoh Watson dan Rayner melihat bahwa rasa takut dipelajari lewat conditioning, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat dihilangkan lewat counter conditioning-nya. Tahun 1920-an Johannes Schulz, psikolog Jerman, mengembangkan teknik “Autogenic Training” yang mengkombinasikan diagnosis, relaksasi dan autosugesti untuk konseli yang mengalami kecemasan. Tahun 1935 Guthrie mengemukakan beberapa teknik untuk menghapus kebiasaan maladaptive termasuk kecemasan dengan menghadapkan individu yang mengalami phobia pada stimulus yang tidak dapat menimbulkan kecemasan secara gradual ditingkatkan ke stimulus yang lebih kuat menimbulkan ketakutan.
Teknik Disensitisasi sistematis atau sering disingkat DS ini merupakan teknik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan atau ketakutan secara berlebihan atau sering juga disebut fobia. Pada dasarnya teknik Disensitisasi sistematis bertujuan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan. Prinsip dasar Desensitisasi adalah memasukkan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan yaitu relaksasi. Menurut sejarah teknik desensitisasi sitematis, Corey (2005:254) mengemukakan tentang latar belakang teknik ini melihat bahwa rasa takut dipelajari lewat pengkondisian, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat dihilangkan lewat pusat pengkondisiannya.

B.  DEFINISI
Desensitisasi  Sistematis adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Teknik desensitisasi sitematis merupakan salah satu teknik perubahan perilaku yang didasari oleh teori atau pendekatan behavioral klasikal. Pendekatan behavioral memandang manusia atau kepribadian manusia pada hakikatnya adalah perilaku yang dibentuk berdasarkan hasil pengalaman dari interaksi individu dengan lingkungannya. Disensitisasi sistematis digunakan untuk menghapus rasa cemas dan tingkah laku menghindar. Teknik ini melibatkan teknik relaksasi. Melatih konseli untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasikan.
Adapun karakteristik atau ciri-ciri terapeutik teknik desensitisasi sistematis menurut pendekatan behavioral adalah :
1.      Merupakan suatu teknik melemahkan respon terhadap stimulus yang tidak menyenangkan dan mengenalkan stimulus yang berlawanan (menyenangkan).
2.      Penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
3.      Merupakan perpaduan dari beberapa teknik.

Kendala dalam pelaksanaan teknik desensitisasi sitematis, antara lain:
1.      Terdapat konselor yang masih mendasarkan konseling dengan menggunakan teknik yang berakar pada hukum-hukum belajar
2.      Tidak semua konselor mampu berperan propagandist dalam penerapan teknik konseling Desensitisasi Sistematis.
3.      Dalam teknik desensitisasi sistematis perlu melibatkan teknik-teknik lain untuk membantu konseli. Contoh: relaksasi
4.      Teknik ini memerlukan waktu yang lama untuk penerapannya sebab terdapat tahap-tahap atau tingkatan yang berkelanjutan dalam membantu konseli. Misalnya:
Tahap I   : menghilangkan kecemasan tingkat rendah
Tahap II  : menghilangkan kecemasan tingkat sedang
Tahap III : menghilangkan kecemasan tingkat tinggi

5.      Konselor perlu membuat format-format tertentu yang sangat detail mengenai masalah konseli sesuai dengan tingkatan atau tahapan-tahapan teknik ini.

C.  TUJUAN
1.      Pada dasarnya teknik Desensitisasi sistematis bertujuan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan.
2.      Teknik desensitisasi sistematis bermaksud mengajar konseli untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli.
3.      Mengurangi sensitifitas emosional yang berkaitan dengan kelainan pribadi atau masalah sosial.

D.  MANFAAT
Manfaat dari teknik desensitisasi sistematis antara lain :
1.      Mengurangi maladaptif kecemasan yang dipelajari lewat conditioning (seperti fobia) tapi juga dapat diterapkan pada masalah lain. Mengatasi ketakutan-ketakutan yangdigeneralisasikan.
2.      Dapat melemahkan atau mengurangi perilaku negatifnya tanpa menghilangkannya.
3.      Konseli mampu mengaplikasikan teknikl ini dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus ada konselor yang memandu.

E.  SASARAN
Disensitisasi sistematis umumnya digunakan pada klien yang mengalami gangguan kecemasan, akan tetapi sebenarnya dapat juga digunakan untuk mengurangi kemarahan, mengatasi situasi sedih, dan berbagai rasa takut serta masalah-masalah sosial.

BAB II
PROSEDUR PELAKSANAAN
TEKNIK DESENSITISASI SISTEMATIS


A.      PENGANTAR
Teknik desensitisasi sitematis merupakan salah satu teknik perubahan perilaku yang didasari oleh teori atau pendekatan behavioral klasik. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Sulaiman Zein (dalam http://id.wordpress.com/tag/teknik-konseling) mengemukakan bahwa ”Desensitisasi  sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks”. Jadi Desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan.
Desensitisasi  sistematis dapat diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, kecemasan-kecemasan neurotik, dan lain-lain. Teknik ini dipilih karena merupakan perpaduan dari teknik memikirkan sesuatu, menenangkan diri dan membayangkan sesuatu dengan memanfaatkan ketenangan jasmaniah konseli untuk melawan ketegangan jasmaniah konseli yang bila konseli berada dalam situasi yang menakutkan atau menegangkan sehingga sangat tepat untuk mengatasi gangguan kecemasan atau yang berhubungan dengan kelainan pribadi maupun masalah sosial. Teknik desensitisasi sistematis ini pada prinsipnya melemahkan perilaku yang menimbulkan kecemasan. Hal ini disebabkan, permasalahan yang biasa diatasi dengan menggunakan teknik desensitisasi sistematis seperti fobia, kecemasan dan lain-lain tidak perlu untuk dihilangkan sepenuhnya dari diri seseorang. Setiap individu perlu tetap memiliki perasaan-perasaan seperti takut dan cemas asal dalam batasan yang wajar atau normal. Jika individu tidak memiliki perasaan-perasaan seperti yang disebutkan di atas maka justru individu akan bermasalah atau tidak normal.

B.       PROSEDUR PELAKSANAAN
1.      Tahap Persiapan
Dalam menyelenggarakan setiap kegiatan tetap diperlukan persiapan. Hal ini diperlukan agar kegiatan yang dilaksakan dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Pada persiapan teknik desensitisasi sistematis, konselor menawarkan kepada konseli yang mengalami kecemasan spesifik untuk mau terlibat dan mengikuti serangkaian dari teknik desensitisasi sistematis dalam mengatasi gangguan kecemasan yang sedang dialami konseli.

2.      Fase Assessment
Dalam fase assessment ini, konselor mengidentifikasi faktor-faktor yang mengiringi munculnya kecemasan. Hal yang perlu diungkap dalam fase assessment antara lain:
-          Ingatan traumatik yang ditakuti konseli
Setelah konseli memasuki tahap konseling dan menyepakati untuk terlibat dengan penggunaan teknik desensitisasi sistematiis, maka konselor mengeksplorasi data-data yang menjadi penyebab munculnya kecemasan tersebut. Data tersebut dapat berupa peristiwa traumatik yang terjadi di masa lalu. Peristiwa ini membekas dan menjadi ingatan yang sulit dihilangkan dari memori jangka jangjang konseli.
-          Sensasi yang muncul
Selama kecemasan muncul, dampak fisik dan dampak psikis yang muncul misalnya seperti teriakan, gemetar, pingsan, dan lain-lain juga perlu digali sebagai data pendukung.


-          Evaluasi unit subyektif gangguan
Konselor menanyakan kepada konseli mengenai hambatan-hambatan yang terjadi serta yang mengganggu kehidupan keseharian ketika kecemasan muncul. 
-          Identifikasi pemikiran negatif terhadap obyek
Konselor meminta konseli untuk menceritakn pemikiran-pemikiran negatif yang dipikirkan serta yang diimajinasikan ketika kondisi yang menimbulkan kecemasan yang berlebihan muncul.
-          Mencari pemikiran positif
Dalam setiap peristiwa yang terjadi pasti memiliki hikmah atau dampak positif. Konselor memberikan pemahaman kepada konseli bahwa kondisi yang memunculkan kecemasan tersebut adalah hal yang indah dan perlu disyukuri serta mencari hal positif lainnya dari kondisi tersebut.

3.      Fase Desensitisasi
Fase ini merupakan fase inti dari teknik desensitisasi sistematis. Dalam teknik ini melibatkan teknik lain seperti teknik rileksasi dan teknik modelling. Konselor merupakan model berperan sebagai model atau counter propagandist. Tahapan dalam fase ini meliputi:
-          Melakukan rileksasi
Penerapan relaksasi lebih ditekankan pada latihan yang terdiri atas kontraksi, yang kemudian diteruskan pada pengenduran otot-otot dan bagian tubuh dengan tiitik berat wajah, tangan, kepala, leher, pundak, punggung, perut, dada, dan anggota badan bagian bawah.hingga tercapai keadaan yang rileks dan santai. Dalam relaksasi klien dianjurkan untuk membayangkan situasi-situasi yang membuat santai seperti duduk di pinggir pantai, danau, atau tempat tenang lainnya. Hal yang terpenting adalah klien diarahkan untuk mencapai keadaan tenang dan rileks sehingga merasakan suatu kedamaian. Agar konseli terbiasa dengan keadaan santai dengan cepat, maka konselor perlu memberikan penugasan untuk melakukan latihan relaksasi minimal 30 menit setiap harinya.
-          Menetapkan hirarki kebutuhan
Konselor bersama dengan konseli membuat daftar yang berisikan situasi-situasi yang menimbulkan atau meningkatkan kecemasan spesifik mulai dari taraf situasi yang menimbulkan kesemasan kecemasan yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Setelah itu konselor dan konseli menyepakati hirarki kebutuhan yang sudah dibuat.
-          Pelaksanaan desensitisasi
In vitro: konselor meminta konseli untuk menutup mata dan membayangkn dirinya berada pada situasi yang netral, menyenangkan, santai, nyaman, tenang. Saat konseli sudah dalam kondisi santai dan rileks, konselor meminta konseli untuk membayangkan  situasi seperti pada hirarki yang kecemasan yang telah disepakati mulai dari taraf yang ringan hingga taraf yang lebih tinggi. Konselor memberikan panduan pada setiap tahapan hirarki. Apabila konseli merasa mampu membayangkan kondisi seperti tahapan yang sedang diinstruksikan oleh konselor, maka konseli mengatakan “oke”. Sedangkan jika tidak sanggup membayangkan kondisi tersebut maka mengatakan “cukup” Apabila dalam proses penerapan tahapan hirarki kecemasan, konseli tidak sanggup maka konselor perlu menciptakan kondisi-kondisi agar konseli kembali relaks. Setelah konseli merasa pada kondisi nyaman dan relaks maka konselor meminta konseli untuk membayangkan kembali tahapan tadi. Kemudian seterusnya hingga tahapan hirarki kecemasan yang paling tinggi dapat dikuasai.

In vivo: seperti halnya dengan teknik in vitro yaitu menghadirkan kondisi seperti pada hirarki kecemasan yang telah disusun. Namun, pada teknik in vivo, kondisi atau situasi yang dihadirkan sama persis dengan kondisi pada hirarki kecemasan dengan kecemasan yang dialami konseli. Konselor menghadirkan kondisi tersebut dalam kehidupan nyata dan tidak membayangkan lagi. Konselor harus memiliki keahlian dan persiapan yang matang dalam menghadirkan kondisi dan situasi tersebut. Intruksi yang diberikan sama seperti dengan teknik in vitro. Mulai dari tahapan yang paling ringan hingga tahapan yang tinggi. Terapi akan selesai apabila konseli mampu tetap pada keadaan santai, rileks dan nyaman ketika membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan mencemaskan.

Mungkin saja, pelaksanaan desensitisasi sistematis tidak berhasil atau gagal dilakukan oleh  beberapa konseli. Hal ini yang disebabkan karena:
-          Konseli mengalami kesulitan dalam melakukan relaksasi.
-          Hirarki kecemasan yang disusun tidak relevan atau tidak tepat.
-          Ketidakmandirian konsli dalam membayangkan situasi dan kondisi penyebab kecemasan muncul.

4.      Fase instalasi:
Setelah terapi selesai, konselor memberikan penguatan-penguatan kepada konseli hingga konseli dapat meningkatkan kekuatan positif yang telah muncul sebagai pengganti pemikiran negatif terhadap suatu kondisi yang menimbulkan kecemasan spesifik. Konselor membantu konseli menghadirkan pikiran-pikiran positif pada saat situasi tersebut muncul kembali

5.      Konseli melakukan visualisasi
Konseli memvisualisasikan trauma negatif yang menimbulkan kecemasan dan menghadirkan pemikiran positif yang telah muncul. Dalam tahap ini, konseli memeriksa kondisi tubuh, seperti denyut nadi, detak jantung, tubuh gemetar, dan lain-lain. Apabila konseli sudah merasa nyaman dan detak jantung tetap normal, hal tersebut berarti konseli sudah mengalami kemajuan dalam menghadapi kecemasannya.

6.      Konseli mencatat dan mengontrol kejadian yang dirasakan mengganggu
Setelah melaksanakan teknik desensitisasi sistematis, konseli tetap memperhatikan kondisi yang mengganggu kemunculan kecemasannya, jika hal tersebut muncul kembali diharapkan konseli dapat mengontrolnya agar kecemasan tersebut tidak muncul kembali.

7.      Evaluasi teknik
Konseli merasakan perubahan-perubahan positif yang dialami, yang meliputi perubahan fisik, psikis dan perasaannya. Konseli dan konselor menyampaikan hambatan-hambatan selama pelaksanaan teknik desensitisasi sitematis tersebut.

C.      PERAN DAN FUNGSI KONSELOR
Peran dan fungsi konselor antara lain sebagai berikut:
1.      Sebagai fasilitator
2.      Konselor menentukan apa yang dipahami konseli tentang gambaran tenang yang berarti itu skala “0” pada hirarki/control/scanner

D.      CONTOH APLIKASI (VERBATIM & VIDEO)
Teknik desensitisasi sitematis pada umumnya digunakan pada klien yang mengalami gangguan kecemasan, akan tetapi sebenarnya dapat juga digunakan untuk mengurangi kemarahan, mengatasi situasi sedih, dan berbagai rasa takut serta masalah-masalah sosial. Teknik desensitisasi sistematis ini cocok untuk kasus fobia, takut ujian, impotensi, frigiditas, kecemasan neurotik, atau ketakutan yang digeneralisasi.
Dalam panduan ini, penulis memberikan contoh penerapan teknik desensitisasi sistematis pada kasus kecemasan pada keadaan gelap (achluo-phobia). Konseli mengalami gangguan ini dikarenakan traumatik pada peristiwa masa lalu, dimana konseli diusili oleh temannya, dan ditakut-takuti hantu hantu oleh temannnya. Sejak saat itu konseli semakin takut pada keadaan gelap. Kemudian konseli mendatangi konselor untuk membantu dalam menghadapi kecemasan spesifik tersebut. Konseli sepakat untuk menggunakan teknik desensitisasi sitematis dalam mengatasi kecemasaanya. Konseli melakukan teknik in vitro (imajinasi) dan in vivo (menghadirkan dalam kehidupan nyata). Untuk lebih jelasnya contoh aplikasi ini dapat dilihat pada video yang telah kami sertakan dalam panduan ini.


















E.       LEMBAR EVALUASI

FORMAT EVALUASI


1.      Identitas Klien
a.       Nama                                       :
b.      Tempat dan Tanggal Lahir      :
c.       Jenis Kelamin                          :
d.      Alamat                                                :
2.      Aspek yang dievaluasi      : Dapat berada di tempat yang gelap dengan nyaman tanpa ada kecemasan
3.      Petunjuk    : Berilah tanda cek (pada kolom yang sesuai dengan pernyataan atau gelaja yang nampak.
No
Tahap
Skala
Baik
Cukup
Kurang
1.
PERSIPAN
a.       Penyambutan
b.      Topik netral
c.       Pengalihan topik netral ke inti masalah



2.
PELAKSANAAN
Teknik yang digunakan adalah desensitisasi sitematis:
a.       Konselor memberikan pengarahan
b.      Konseli mempratikkan tahapan-tahapan dalam teknik desensitisasi sistematis



3.
PENUTUP
a.       Menanyakan pengalaman konseli setelah melakukan teknik desensitisasi sistematis
b.      Pemberian tugas



4.
EVALUASI
a.       Evaluasi proses
b.      Evaluasi hasil sementara
c.       Evaluasi keseluruhan





























BAB III
PENUTUP


A.      SIMPULAN
            Teknik Disensitisasi sistematis atau sering disingkat DS ini merupakan teknik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan atau ketakutan secara berlebihan atau sering juga disebut fobia. Teknik ini melibatkan teknik relaksasi. Teknik ini melatih konseli untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasikan.

B.       SARAN
Sebagai calon konselor disekolah ketika disekeliling kita menemui seseorang yg mengalami gangguan kecemasaan atau ketakutan yang berlebihan maka kecemasan tersebut dapat kita turunkan atau lemahkan dengan salah satu teknik dalam bimbingan konseling yaitu teknik disensitisasi sistematis. Penerapan teknik ini digunakan untuk menurunkan atau melemahkan kecemasan yang dihadapi oleh seseorang.












DAFTAR PUSTAKA











LAMPIRAN

PANDUAN PEMBUATAN VIDEO
1.      Dikamar, Mengerjakan Tugas
Tias sedang mengerjakan tugas dikamar dengan serius. Tiba-tiba lampu mati! (mati lampu)
Tias menjerit ketakutan.
2.      Di taman, Narator
Narator menjelaskan tentang Teknik Desentisisasi Sistematis dan fobia
3.      Ruang Konseling, Menemui Konselor
Tias menemui seorang konselor (yulia) di ruang prakteknya, untuk mengatasi fobia kegelapan yang dialaminya.
Tias menceritakan masalahnya kepada konselor.
4.      Dikamar, Masa lalu Tias
Tias, Fitri dan Ita mengerjakan tugas bersama. Fitri pergi kekamar mandi. Tiba-tiba lampu mati! Tias gelisah dan Ita mencoba tenang. Tiba-tiba terdengar suara tangisan perempuan. Tias semakin takut, Ita pura-pura tidak mendengar. Kemudian ada bayangan putih melayang. Tias semakin ketakutan dan menjerit histeris, Ita pura-pura tidak melihat.
5.      Ruang Konseling, Proses konseling (fase assessment)
Konselor mendiagnosis masalah Tias:
o   Ingatan traumatik yang ditakuti konseli
o   Sensasi yang muncul (fisik, emosi)
o   Evaluasi unit subjektif gangguan
o   Identifikasi pemikiran negatif terhadap objektif
o   Mencari pemikiran positif
Menawarkan dan menjelaskan teknik Desensitisasi Sistematis
Tias menyetujui teknik DS
6.      Ruang Konseling Individu, Proses Treatment (fase desensitisasi)
Konselor menjelaskan tahap desensitisasi.
Konselor mengajarkan relaksasi pada konseli
7.      Pertemuan kedua, ruang konseling individu, proses treatment (fase desensitisasi)
Konselor mengevsluasi perkembangan konseli
Konselor memandu proses relaksasi
Konselor bersama konseli menyusun hirarki kecemasan
Hirarki Kecemasn
Melaksanakan hirarki kecemasan secara in vivo
8.      Pertemuan ketiga, ruang konseling individu, proses treatment
Melaksanakan hirarki kecemasan secara in vitro
9.      Ruang konseling Individu, face instalasi
Konseli meningkatkan kekuatan positif yang tela diidentifikasi sebagai pengganti pemikiran negatif
Konseli memvisualisasikam trauma negatif dan pemikiran positif serta memeriksa kondisi tubuh
Konseli mencatat bahan kejadian yang dirasa mengganggu
10.  Ruang Konseling Individu, evaluasi teknik
Konselor bersama konseli mengevaluasi proses teknik DS terhadap kecemasan fobia yang dialami konseli
Rencana tinda lanjut konseli
11.  Penutup, Narator
Menjelaskan kesimpulan teknik Desensitisasi Sistematis