BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut sejarah teknik
desensitisasi sitematis, Nietzel dan Berstein (1987) mengemukakan tentang latar
belakang teknik ini antara lain tokoh Watson dan Rayner melihat bahwa rasa
takut dipelajari lewat conditioning, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat
dihilangkan lewat counter conditioning-nya. Tahun 1920-an Johannes Schulz,
psikolog Jerman, mengembangkan teknik “Autogenic Training” yang
mengkombinasikan diagnosis, relaksasi dan autosugesti untuk konseli yang mengalami
kecemasan. Tahun 1935 Guthrie mengemukakan beberapa teknik untuk menghapus
kebiasaan maladaptive termasuk kecemasan dengan menghadapkan individu yang
mengalami phobia pada stimulus yang tidak dapat menimbulkan kecemasan secara
gradual ditingkatkan ke stimulus yang lebih kuat menimbulkan ketakutan.
Teknik Disensitisasi
sistematis atau sering disingkat DS ini merupakan teknik yang digunakan untuk
mengurangi kecemasan atau ketakutan secara berlebihan atau sering juga disebut
fobia. Pada dasarnya teknik Disensitisasi sistematis bertujuan untuk menghapus
tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan pemunculan tingkah
laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan. Prinsip
dasar Desensitisasi adalah memasukkan suatu respon yang bertentangan dengan
kecemasan yaitu relaksasi. Menurut sejarah teknik desensitisasi sitematis, Corey (2005:254) mengemukakan
tentang latar belakang teknik ini melihat bahwa rasa takut dipelajari lewat
pengkondisian, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat dihilangkan lewat
pusat pengkondisiannya.
B. DEFINISI
Desensitisasi Sistematis adalah salah satu
teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Teknik
desensitisasi sitematis merupakan salah satu teknik perubahan perilaku yang
didasari oleh teori atau pendekatan behavioral klasikal. Pendekatan behavioral
memandang manusia atau kepribadian manusia pada hakikatnya adalah perilaku yang
dibentuk berdasarkan hasil pengalaman dari interaksi individu dengan
lingkungannya. Disensitisasi sistematis digunakan untuk menghapus rasa cemas
dan tingkah laku menghindar. Teknik ini melibatkan teknik relaksasi. Melatih
konseli untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman
pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasikan.
Adapun karakteristik atau ciri-ciri terapeutik teknik
desensitisasi sistematis menurut pendekatan behavioral adalah :
1. Merupakan
suatu teknik melemahkan respon terhadap stimulus yang tidak menyenangkan dan
mengenalkan stimulus yang berlawanan (menyenangkan).
2. Penaksiran
objektif atas hasil-hasil terapi.
3. Merupakan
perpaduan dari beberapa teknik.
Kendala dalam pelaksanaan teknik desensitisasi sitematis, antara lain:
1. Terdapat
konselor yang masih
mendasarkan konseling dengan menggunakan teknik yang berakar pada hukum-hukum
belajar
2. Tidak
semua konselor mampu berperan propagandist dalam penerapan teknik konseling
Desensitisasi Sistematis.
3. Dalam
teknik desensitisasi sistematis perlu melibatkan teknik-teknik lain untuk
membantu konseli. Contoh: relaksasi
4. Teknik
ini memerlukan waktu yang lama untuk penerapannya sebab terdapat tahap-tahap
atau tingkatan yang berkelanjutan dalam membantu konseli. Misalnya:
Tahap
I : menghilangkan kecemasan tingkat
rendah
Tahap
II : menghilangkan kecemasan tingkat sedang
Tahap
III : menghilangkan kecemasan tingkat tinggi
5. Konselor
perlu membuat format-format tertentu yang sangat detail mengenai masalah
konseli sesuai dengan tingkatan atau tahapan-tahapan teknik ini.
C. TUJUAN
1. Pada
dasarnya teknik Desensitisasi sistematis bertujuan untuk menghapus tingkah laku
yang diperkuat secara negatif dan menyertakan pemunculan tingkah laku atau
respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan.
2. Teknik
desensitisasi sistematis bermaksud mengajar konseli untuk memberikan respon
yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli.
3. Mengurangi
sensitifitas emosional yang berkaitan dengan kelainan pribadi atau masalah
sosial.
D. MANFAAT
Manfaat
dari teknik desensitisasi sistematis antara lain :
1. Mengurangi
maladaptif kecemasan yang dipelajari lewat conditioning (seperti fobia) tapi
juga dapat diterapkan pada masalah lain. Mengatasi ketakutan-ketakutan
yangdigeneralisasikan.
2. Dapat
melemahkan atau mengurangi perilaku negatifnya tanpa menghilangkannya.
3. Konseli
mampu mengaplikasikan teknikl ini dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus ada
konselor yang memandu.
E. SASARAN
Disensitisasi sistematis umumnya digunakan pada klien yang mengalami
gangguan kecemasan, akan tetapi sebenarnya dapat juga digunakan untuk
mengurangi kemarahan, mengatasi situasi sedih, dan berbagai rasa takut serta
masalah-masalah sosial.
BAB II
PROSEDUR
PELAKSANAAN
TEKNIK
DESENSITISASI SISTEMATIS
A.
PENGANTAR
Teknik desensitisasi
sitematis merupakan salah satu teknik perubahan perilaku yang didasari oleh
teori atau pendekatan behavioral klasik. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat
dihilangkan secara bertahap. Sulaiman Zein (dalam http://id.wordpress.com/tag/teknik-konseling)
mengemukakan bahwa ”Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling
behavioral yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan
yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks”. Jadi Desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan
teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat
secara negatif biasanya merupakan kecemasan.
Desensitisasi
sistematis dapat diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil
kecemasan, mencakup situasi interpersonal, kecemasan-kecemasan neurotik, dan
lain-lain. Teknik ini dipilih karena merupakan perpaduan dari teknik memikirkan
sesuatu, menenangkan diri dan membayangkan sesuatu dengan memanfaatkan
ketenangan jasmaniah konseli untuk melawan ketegangan jasmaniah konseli yang
bila konseli berada dalam situasi yang menakutkan atau menegangkan sehingga
sangat tepat untuk mengatasi gangguan kecemasan atau yang berhubungan dengan
kelainan pribadi maupun masalah sosial. Teknik desensitisasi sistematis ini
pada prinsipnya melemahkan perilaku yang menimbulkan kecemasan. Hal ini
disebabkan, permasalahan yang biasa diatasi dengan menggunakan teknik
desensitisasi sistematis seperti fobia, kecemasan dan lain-lain tidak perlu
untuk dihilangkan sepenuhnya dari diri seseorang. Setiap individu perlu tetap
memiliki perasaan-perasaan seperti takut dan cemas asal dalam batasan yang
wajar atau normal. Jika individu tidak memiliki perasaan-perasaan seperti yang
disebutkan di atas maka justru individu akan bermasalah atau tidak normal.
B.
PROSEDUR
PELAKSANAAN
1.
Tahap
Persiapan
Dalam menyelenggarakan setiap
kegiatan tetap diperlukan persiapan. Hal ini diperlukan agar kegiatan yang
dilaksakan dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Pada persiapan teknik
desensitisasi sistematis, konselor menawarkan kepada konseli yang mengalami
kecemasan spesifik untuk mau terlibat dan mengikuti serangkaian dari teknik
desensitisasi sistematis dalam mengatasi gangguan kecemasan yang sedang dialami
konseli.
2.
Fase
Assessment
Dalam fase assessment ini, konselor
mengidentifikasi faktor-faktor yang mengiringi munculnya kecemasan. Hal yang
perlu diungkap dalam fase assessment antara lain:
-
Ingatan
traumatik yang ditakuti konseli
Setelah konseli memasuki tahap
konseling dan menyepakati untuk terlibat dengan penggunaan teknik desensitisasi
sistematiis, maka konselor mengeksplorasi data-data yang menjadi penyebab
munculnya kecemasan tersebut. Data tersebut dapat berupa peristiwa traumatik
yang terjadi di masa lalu. Peristiwa ini membekas dan menjadi ingatan yang
sulit dihilangkan dari memori jangka jangjang konseli.
-
Sensasi
yang muncul
Selama kecemasan muncul, dampak
fisik dan dampak psikis yang muncul misalnya seperti teriakan, gemetar,
pingsan, dan lain-lain juga perlu digali sebagai data pendukung.
-
Evaluasi
unit subyektif gangguan
Konselor menanyakan kepada konseli
mengenai hambatan-hambatan yang terjadi serta yang mengganggu kehidupan
keseharian ketika kecemasan muncul.
-
Identifikasi
pemikiran negatif terhadap obyek
Konselor meminta konseli untuk
menceritakn pemikiran-pemikiran negatif yang dipikirkan serta yang
diimajinasikan ketika kondisi yang menimbulkan kecemasan yang berlebihan
muncul.
-
Mencari
pemikiran positif
Dalam setiap peristiwa yang terjadi
pasti memiliki hikmah atau dampak positif. Konselor memberikan pemahaman kepada
konseli bahwa kondisi yang memunculkan kecemasan tersebut adalah hal yang indah
dan perlu disyukuri serta mencari hal positif lainnya dari kondisi tersebut.
3. Fase Desensitisasi
Fase ini merupakan fase inti dari teknik
desensitisasi sistematis. Dalam teknik ini melibatkan teknik lain seperti
teknik rileksasi dan teknik modelling. Konselor merupakan model berperan
sebagai model atau counter propagandist.
Tahapan dalam fase ini meliputi:
-
Melakukan
rileksasi
Penerapan relaksasi lebih ditekankan pada latihan yang
terdiri atas kontraksi, yang kemudian diteruskan pada pengenduran otot-otot dan
bagian tubuh dengan tiitik berat wajah, tangan, kepala, leher, pundak,
punggung, perut, dada, dan anggota badan bagian bawah.hingga tercapai keadaan yang rileks dan santai. Dalam
relaksasi klien dianjurkan untuk membayangkan situasi-situasi yang membuat
santai seperti duduk di pinggir pantai, danau, atau tempat tenang lainnya. Hal
yang terpenting adalah klien diarahkan untuk mencapai keadaan tenang dan rileks
sehingga merasakan suatu kedamaian. Agar konseli terbiasa
dengan keadaan santai dengan cepat, maka konselor perlu memberikan penugasan
untuk melakukan latihan relaksasi minimal 30 menit setiap harinya.
-
Menetapkan
hirarki kebutuhan
Konselor bersama
dengan konseli membuat daftar yang berisikan situasi-situasi yang menimbulkan
atau meningkatkan kecemasan spesifik mulai dari taraf situasi yang menimbulkan
kesemasan kecemasan yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Setelah itu
konselor dan konseli menyepakati hirarki kebutuhan yang sudah dibuat.
-
Pelaksanaan
desensitisasi
In
vitro: konselor meminta konseli untuk menutup mata dan membayangkn
dirinya berada pada situasi yang netral, menyenangkan, santai, nyaman, tenang.
Saat konseli sudah dalam kondisi santai dan rileks, konselor meminta konseli
untuk membayangkan situasi seperti pada
hirarki yang kecemasan yang telah disepakati mulai dari taraf yang ringan
hingga taraf yang lebih tinggi. Konselor memberikan panduan pada setiap tahapan
hirarki. Apabila konseli merasa mampu membayangkan kondisi seperti tahapan yang
sedang diinstruksikan oleh konselor, maka konseli mengatakan “oke”. Sedangkan
jika tidak sanggup membayangkan kondisi tersebut maka mengatakan “cukup”
Apabila dalam proses penerapan tahapan hirarki kecemasan, konseli tidak sanggup
maka konselor perlu menciptakan kondisi-kondisi agar konseli kembali relaks.
Setelah konseli merasa pada kondisi nyaman dan relaks maka konselor meminta
konseli untuk membayangkan kembali tahapan tadi. Kemudian seterusnya hingga
tahapan hirarki kecemasan yang paling tinggi dapat dikuasai.
In
vivo:
seperti halnya dengan teknik in vitro yaitu menghadirkan kondisi seperti pada
hirarki kecemasan yang telah disusun. Namun, pada teknik in vivo, kondisi atau
situasi yang dihadirkan sama persis dengan kondisi pada hirarki kecemasan
dengan kecemasan yang dialami konseli. Konselor menghadirkan kondisi tersebut
dalam kehidupan nyata dan tidak membayangkan lagi. Konselor harus memiliki
keahlian dan persiapan yang matang dalam menghadirkan kondisi dan situasi
tersebut. Intruksi yang diberikan sama seperti dengan teknik in vitro. Mulai
dari tahapan yang paling ringan hingga tahapan yang tinggi. Terapi akan selesai
apabila konseli mampu tetap pada keadaan santai, rileks dan nyaman ketika
membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan mencemaskan.
Mungkin saja, pelaksanaan desensitisasi sistematis
tidak berhasil atau gagal dilakukan oleh beberapa konseli. Hal ini yang disebabkan
karena:
-
Konseli mengalami kesulitan dalam
melakukan relaksasi.
-
Hirarki kecemasan yang disusun tidak
relevan atau tidak tepat.
-
Ketidakmandirian konsli dalam
membayangkan situasi dan kondisi penyebab kecemasan muncul.
4. Fase instalasi:
Setelah terapi selesai, konselor memberikan
penguatan-penguatan kepada konseli hingga konseli dapat meningkatkan kekuatan
positif yang telah muncul sebagai pengganti pemikiran negatif terhadap suatu
kondisi yang menimbulkan kecemasan spesifik. Konselor membantu konseli
menghadirkan pikiran-pikiran positif pada saat situasi tersebut muncul kembali
5. Konseli melakukan visualisasi
Konseli memvisualisasikan trauma negatif yang
menimbulkan kecemasan dan menghadirkan pemikiran positif yang telah muncul.
Dalam tahap ini, konseli memeriksa kondisi tubuh, seperti denyut nadi, detak
jantung, tubuh gemetar, dan lain-lain. Apabila konseli sudah merasa nyaman dan
detak jantung tetap normal, hal tersebut berarti konseli sudah mengalami
kemajuan dalam menghadapi kecemasannya.
6.
Konseli
mencatat dan mengontrol kejadian yang dirasakan mengganggu
Setelah melaksanakan teknik desensitisasi
sistematis, konseli tetap memperhatikan kondisi yang mengganggu kemunculan
kecemasannya, jika hal tersebut muncul kembali diharapkan konseli dapat mengontrolnya
agar kecemasan tersebut tidak muncul kembali.
7.
Evaluasi
teknik
Konseli merasakan perubahan-perubahan positif yang
dialami, yang meliputi perubahan fisik, psikis dan perasaannya. Konseli dan
konselor menyampaikan hambatan-hambatan selama pelaksanaan teknik desensitisasi
sitematis tersebut.
C.
PERAN
DAN FUNGSI KONSELOR
Peran dan fungsi
konselor antara lain sebagai berikut:
1.
Sebagai fasilitator
2.
Konselor menentukan apa yang dipahami
konseli tentang gambaran tenang yang berarti itu skala “0” pada hirarki/control/scanner
D.
CONTOH
APLIKASI (VERBATIM & VIDEO)
Teknik desensitisasi sitematis pada umumnya digunakan pada
klien yang mengalami gangguan kecemasan, akan tetapi sebenarnya dapat juga
digunakan untuk mengurangi kemarahan, mengatasi situasi sedih, dan berbagai
rasa takut serta masalah-masalah sosial. Teknik desensitisasi sistematis ini cocok
untuk kasus fobia, takut ujian, impotensi, frigiditas, kecemasan neurotik, atau
ketakutan yang digeneralisasi.
Dalam panduan ini, penulis memberikan contoh penerapan teknik
desensitisasi sistematis pada kasus kecemasan pada keadaan gelap (achluo-phobia). Konseli mengalami
gangguan ini dikarenakan traumatik pada peristiwa masa lalu, dimana konseli
diusili oleh temannya, dan ditakut-takuti hantu hantu oleh temannnya. Sejak
saat itu konseli semakin takut pada keadaan gelap. Kemudian konseli mendatangi
konselor untuk membantu dalam menghadapi kecemasan spesifik tersebut. Konseli
sepakat untuk menggunakan teknik desensitisasi sitematis dalam mengatasi
kecemasaanya. Konseli melakukan teknik in vitro (imajinasi) dan in vivo
(menghadirkan dalam kehidupan nyata). Untuk lebih jelasnya contoh aplikasi ini
dapat dilihat pada video yang telah kami sertakan dalam panduan ini.
E.
LEMBAR
EVALUASI
FORMAT EVALUASI
1. Identitas
Klien
a.
Nama :
b.
Tempat dan Tanggal Lahir :
c.
Jenis Kelamin :
d.
Alamat :
2. Aspek
yang dievaluasi : Dapat berada di
tempat yang gelap dengan nyaman tanpa ada kecemasan
3. Petunjuk : Berilah tanda cek (pada kolom yang sesuai
dengan pernyataan atau gelaja yang nampak.
No
|
Tahap
|
Skala
|
||
Baik
|
Cukup
|
Kurang
|
||
1.
|
PERSIPAN
a.
Penyambutan
b.
Topik netral
c.
Pengalihan topik netral ke inti masalah
|
|
|
|
2.
|
PELAKSANAAN
Teknik yang digunakan adalah desensitisasi
sitematis:
a.
Konselor memberikan pengarahan
b.
Konseli mempratikkan tahapan-tahapan dalam teknik
desensitisasi sistematis
|
|
|
|
3.
|
PENUTUP
a.
Menanyakan pengalaman konseli setelah melakukan teknik
desensitisasi sistematis
b.
Pemberian tugas
|
|
|
|
4.
|
EVALUASI
a.
Evaluasi proses
b.
Evaluasi hasil sementara
c.
Evaluasi keseluruhan
|
|
|
|
BAB
III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Teknik Disensitisasi sistematis atau
sering disingkat DS ini merupakan teknik yang digunakan untuk mengurangi
kecemasan atau ketakutan secara berlebihan atau sering juga disebut fobia. Teknik
ini melibatkan teknik relaksasi. Teknik ini melatih konseli untuk santai dan
mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman pembangkit kecemasan yang
dibayangkan atau divisualisasikan.
B.
SARAN
Sebagai calon konselor
disekolah ketika disekeliling kita menemui seseorang yg mengalami gangguan
kecemasaan atau ketakutan yang berlebihan maka kecemasan tersebut dapat kita
turunkan atau lemahkan dengan salah satu teknik dalam bimbingan konseling yaitu
teknik disensitisasi sistematis. Penerapan teknik ini digunakan untuk
menurunkan atau melemahkan kecemasan yang dihadapi oleh seseorang.
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
PANDUAN PEMBUATAN VIDEO
1. Dikamar,
Mengerjakan Tugas
Tias sedang mengerjakan
tugas dikamar dengan serius. Tiba-tiba lampu mati! (mati lampu)
Tias menjerit
ketakutan.
2. Di
taman, Narator
Narator menjelaskan
tentang Teknik Desentisisasi Sistematis dan fobia
3. Ruang
Konseling, Menemui Konselor
Tias menemui seorang
konselor (yulia) di ruang prakteknya, untuk mengatasi fobia kegelapan yang
dialaminya.
Tias menceritakan
masalahnya kepada konselor.
4. Dikamar,
Masa lalu Tias
Tias, Fitri dan Ita
mengerjakan tugas bersama. Fitri pergi kekamar mandi. Tiba-tiba lampu mati!
Tias gelisah dan Ita mencoba tenang. Tiba-tiba terdengar suara tangisan
perempuan. Tias semakin takut, Ita pura-pura tidak mendengar. Kemudian ada
bayangan putih melayang. Tias semakin ketakutan dan menjerit histeris, Ita
pura-pura tidak melihat.
5. Ruang
Konseling, Proses konseling (fase assessment)
Konselor mendiagnosis
masalah Tias:
o
Ingatan traumatik yang ditakuti konseli
o
Sensasi yang muncul (fisik, emosi)
o
Evaluasi unit subjektif gangguan
o
Identifikasi pemikiran negatif terhadap
objektif
o
Mencari pemikiran positif
Menawarkan dan
menjelaskan teknik Desensitisasi Sistematis
Tias menyetujui teknik
DS
6. Ruang
Konseling Individu, Proses Treatment (fase desensitisasi)
Konselor menjelaskan
tahap desensitisasi.
Konselor mengajarkan
relaksasi pada konseli
7. Pertemuan
kedua, ruang konseling individu, proses treatment (fase desensitisasi)
Konselor mengevsluasi
perkembangan konseli
Konselor memandu proses
relaksasi
Konselor bersama
konseli menyusun hirarki kecemasan
Hirarki Kecemasn
Melaksanakan hirarki
kecemasan secara in vivo
8. Pertemuan
ketiga, ruang konseling individu, proses treatment
Melaksanakan hirarki
kecemasan secara in vitro
9. Ruang
konseling Individu, face instalasi
Konseli meningkatkan
kekuatan positif yang tela diidentifikasi sebagai pengganti pemikiran negatif
Konseli
memvisualisasikam trauma negatif dan pemikiran positif serta memeriksa kondisi
tubuh
Konseli mencatat bahan
kejadian yang dirasa mengganggu
10. Ruang
Konseling Individu, evaluasi teknik
Konselor bersama
konseli mengevaluasi proses teknik DS terhadap kecemasan fobia yang dialami
konseli
Rencana tinda lanjut
konseli
11. Penutup,
Narator
Menjelaskan kesimpulan teknik
Desensitisasi Sistematis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar